Senyum Kebahagiaan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kaluargaku Tercinta

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Keluarga Besar

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Aktivitas

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kampus UIN Syahid

Tempat dimana aku mencari pencerahan dan memberikan pengabdian terbaikku untuk masa depan bangsa

Kamis, 08 Maret 2012

Kewarisan Khuntsa (Perspektif Fiqh dan Praktek di Masyarakat)

Pembahasan 
Pada prinsipnya Allah SWT menciptakan manusia hanya dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.[1] Kedua alat kelamin tersebut mempunyai urgensia yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-laki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat digunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga.
     Dalam hal-hal tertentu hukum membedakan ketentuan antara laki-laki dan perempuan, antara lain dalam hal pusaka mempusakai dimana Allah SWT telah menjelaskan pusaka laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya dalam ayat mawarist, tetapi tidak menjelaskan pusaka khuntsa. 
Istilah khuntsa berasal dari bahasa Arab khanatsa yang berarti lunak atau melunak.[2] Dalam  bahasa  Indonesia  dikenal  dengan  istilah “banci”, “wadam” (wanita-adam) atau  “waria” (wanita-pria).  Menurut  Ensiklopedi Hukum Islam, khuntsa adalah  seseorang  yang  diragukan   jenis   kelaminnya   apakah   laki-laki atau perempuan karena memiliki alat kelamin secara bersamaan ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki-laki atau perempuan.[3]
Sehubungan dengan tidak dijelaskannya pusaka khuntsa dalam al-Qur’an, para pakar hukum Islam berusaha dan berijtihad untuk menghindari kevacuman hukum dalam penyelesaian pusaka khuntsa ini.
A. Perspektif Fiqh
Masalah khuntsa ini banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fikih, karena meskipun khunsa mempunyai dua alat kelamin, namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu, yaitu laki-laki atau perempuan. Untuk itu, harus dipastikan kedudukan jenis kelamin seorang khuntsa.
1. Cara menetapkan status atau jenis kelamin khuntsa
Dalam menetapkan seorang khuntsa itu sebagai laki-laki atau perempuan, ulama klasik menempuh dengan dua cara:[4]
Pertama, yaitu dengan cara meneliti tempat keluarnya air kencing; Cara ini merupakan cara yang disepakati para ulama dalam menetapkan tanda untuk membedakan jenis kelamin khuntsa tersebut.[5] Apabila khuntsa kencing melalui zakar maka ia dianggap sebagai laki-laki dan karenanya dapat mewarisi sebagaimana orang laki-laki. Dan apabila khuntsa kencing melalui farj maka ia dianggap sebagai perempuan dan karenanya ia dapat mewarisi sebagaimana orang perempuan. Riwayat seperti ini juga didapat dari Ali, Mu’awiyah, Sa’id bin al-Musayyab, Jabir bin Zaid, ahli Kufah dan lainnya.[6]
Dasar yang digunakan untuk menetapkan laki-laki atau perempuan seorang khuntsa melalui cara pertama ialah sabda Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasul pernah ditanya tentang kewarisan seorang anak yang mempunyai qubul dan zakar. Ketika itu beliau sedang menimang anak khuntsa Anshar. Sabdanya:
 ﻮَِﺮّﺜﻮُﺍﻣِﻦﺃﻮّﻞ ﻣَﺎﻴَﺑُﻮﻞُ 
Berikanlah warisan anak khuntsa ini (seperti bagian anak laki-laki atau perempuan) berdasarkan awal pertama keluar kencingnya.”
Alasan menetapkan cara kencing ini sebagai tanda yang ditetapkan oleh Nabi SAW untuk mengetahui jenis kelamin karena hal tersebut merupakan tanda umum yang dapat ditemukan pada anak kecil dan orang dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti tumbuh kumis dan janggut pada laki-laki dan tumbuh payudara pada perempuan baru akan diketahui setelah dewasa.
Selanjutnya, apabila khuntsa kencing melalui kedua alat kelamin tersebut, maka harus diteliti dari alat kelamin mana yang lebih dulu keluar air seninya. Pendapat ini diriwayatkan dari Said ibn Musayyab dan diikuti oleh Ahmad dan jumhur ulama. Apabila keluarnya secara bersamaan maka tanda selanjutnya adalah dari alat kelamin mana air seni tersebut keluar paling banyak. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Awzai, dua sahabat Abu Hanifah.[7] Dalam hal ini Abu Hanifah tidak sependapat karena banyaknya air seni yang keluar dari salah satu kelamin bisa disebabkan luasnya jalan keluar dan hal itu tidak menunjukkan keasliannya.[8] Sedangkan dari Syafi’i tidak dikenal ada pendapat tentang ini.[9]
Kedua, dengan cara melihat tanda-tanda kedewasaannya.[10]
Apabila dengan melihat alat kelamin yang dipergunakan dalam membuang air kecil tidak berhasil, maka dapat ditempuh dengan melihat ciri-ciri atau tanda-tanda kedewasaan bagi si khuntsa. Ciri-ciri spesifik bagi laki-laki antara lain: tumbuh kumis dan janggut, suaranya berubah menjadi besar, keluarnya sperma lewat zakar, timbul jakun di lehernya, dan ada kecenderungan mendekati perempuan. Sedangkan ciri-ciri spesifik bagi perempuan antara lain: membesarnya payudara, keluar haid dari farjnya, dan ada kecenderungan mendekati laki-laki.
Khuntsa yang dapat ditentukan statusnya berdasarkan tanda-tanda atau cara-cara tersebut diatas dinamakan Khuntsa ghair musykil. Sedangkan khuntsa yang sulit ditetapkan jenisnya baik dengan cara meneliti alat kelamin yang dipergunakan kencing, ciri-ciri khusus, keterangan dokter, maupun pengakuan sendiri, dinamakan Khuntsa musykil. Kesulitan dalam menentukan jenisnya berakibat pada kesulitan dalam menetapkan pembagian warisannya.
2. Cara menetapkan bagian pusaka khuntsa
Dalam menghitung kadar bagian khuntsa musykil para ulama sepakat, yaitu dengan memperkirakan dan menghitungnya sebagai laki-laki dan sebagai perempuan. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat dalam menetapkan pembagian warisan khuntsa musykil setelah diketahui hasil dari penghitungan kedua perkiraan tersebut. Pendapat-pendapat tersebut secara garis besar terbagi tiga, yaitu :[11]
a). Memberikan bagian terkecil dan terburuk dari dua perkiraan bagian laki-laki dan bagian perempuan kepada khuntsa musykil, dan memberikan bagian yang terbesar dan terbaik dari dua perkiraan kepada ahli waris yang lain. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Imam Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya. [12]
Contoh: bapak yang mewarisi bersama anak khuntsa.
Perkiraan khuntsa laki-laki
Ahli waris
Bagian penerimaannya
bapak
1/6 x 6         = 1
anak khuntsa (laki-laki)
’Ashabah     = 5
Perkiraan khuntsa perempuan
Ahli waris
Bagian penerimaannya
Bapak 1/6 + sisa
1/6 x 6        = 1 + 2 = 3
Anak khuntsa (perempuan)
1/2 x 6        = 3

Jika khuntsa diperkirakan laki-laki maka akan memperoleh saham 5, dan jika khuntsa diperkirakan perempuan maka akan memperoleh saham 3. Berdasarkan pendapat ini, maka khuntsa diberikan saham terkecil, yaitu 3 saham (sebagai perempuan), sedangkan ahli waris yang lain yaitu bapak diberikan bagian yang terbesar, yaitu 3 saham.
Pembagian seperti ini didasarkan pada suatu ketentuan bahwa untuk memiliki harta benda itu tidak dibenarkan selama tidak ada sebab-sebab yang meyakinkan. Dalam masalah ini terdapat keraguan antara bagian yang terkecil dengan bagian yang terbesar. Untuk memperoleh keyakinan dan menghilangkan keraguan, maka ditetapkan bagian yang terkecil.[13] Ketentuan tersebut bagi khuntsa musykil. Jika khuntsa masih diharapkan menjadi jelas statusnya, maka didalam menunggu status khuntsa apakah laki-laki atau perempuan setelah menginjak usia dewasa, menurut ulama Hanafiyah ada dua pendapat:
Pertama, menetapkan bahwa pembagian seluruh harta peninggalan hendaknya ditahan dulu sampai status khuntsa jelas. Kedua, menetapkan bahwa setiap ahli waris, termasuk khuntsa diberikan bagian yang meyakinkan, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan sampai status khuntsa jelas. Penerimaan seluruh ahli waris disempurnakan dengan menambah bagian mereka yang kurang sesuai dengan yang seharusnya mereka terima. Namun apabila waktu tunggu telah berlalu dan persoalan khuntsa yang diharapkan jelas tidak menjadi jelas, maka ia ditetapkan sebagai khuntsa musykil dan pembagian warisannya seperti ketentuan semula.[14]
b). Memberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan dari dua perkiraan kepada khuntsa dan para ahli waris yang lain, kemudian sisanya ditahan sampai persoalan status khuntsa jelas atau sampai ada perdamaian bersama antara para ahli waris untuk saling hibah-menghibahkan sisa yang diragukan itu.[15] Pendapat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Syafi’iyah, Imam Abu Dawud, Imam Abu Tsaur, dan Imam Ibnu Jarir.
            Jika bagian khuntsa tersebut pasang surut atau berlebih-kurang sekiranya diperkirakan laki-laki dan perempuan, atau khuntsa hanya mewarisi menurut salah satu perkiraan saja, sedangkan menurut perkiraan yang lain ia tidak mendapat warisan, maka bagi khuntsa dan ahli waris yang lain diberikan bagian yang telah meyakinkan, yaitu bagian yang terkecil dari dua perkiraan atau tidak menerima sama sekali. Menurut ketentuan ini, setelah semua ahli waris termasuk khuntsa menerima bagian yang terkecil atau bagian yang telah meyakinkan, maka sisanya ditahan dulu sampai status khuntsa jelas. Tetapi jika status khuntsa tidak menjadi jelas, maka para ahli waris harus mengadakan perundingan untuk saling hibah menghibahkan terhadap sisa harta yang ditawaqqufkan tersebut. Sebab jika tidak ada perundingan untuk saling hibah menghibahkan, sisa yang ditawaqqufkan tersebut tidak dapat dimiliki mereka. Perundingan saling hibah menghibahkan ini adalah sah walaupun menurut syarat-syarat hibah itu harus diketahui secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan sesuatu keadaan darurat.
Contoh: Perkiraan khuntsa laki-laki
Ahli waris
Bagian penerimaannya
bapak
1/6 x 6         = 1
anak khuntsa (laki-laki)
’Ashabah     = 5
Perkiraan khuntsa perempuan
Ahli waris
Bagian penerimaannya
Bapak 1/6 + sisa
1/6 x 6        = 1 + 2 = 3
Anak khuntsa (perempuan)
1/2 x 6        = 3

Berdasarkan pendapat ini maka pembagiannya sebagai berikut:
Bapak                   = 1 saham
Anak khuntsa       = 3 saham
Sisa                       = 2 saham disimpan sampai status khunsa jelas. Atau dibagi berdasarkan kesepakatan.
Ulama-ulama Hanabilah dalam hal khuntsa masih dapat diharapkan menjadi jelas statusnya mengikuti pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, yaitu sisa yang masih diragukan ditahan terlebih dahulu. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas, mereka sependapat dengan ulama Malikiyah pada point c) dibawah ini.
c). Memberi separoh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan kepada khuntsa dan ahli waris yang lain. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Malikiyah, ylama Hanabilah dalam satu pendapatnya disaat si khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas persoalannya,[16] ulama Syi’ah Zaidiyah, dan Syi’ah Imamiyah dalam salah satu pendapatnya yang masyhur.
       Pembagian ahli waris:
Bapak                        = 1 + 3  = 2
                                                      2
        Anak khuntsa             = 5 +3  = 4
                                           2
Alasan yang dikemukakan ulama-ulama tersebut ialah:[17]
Riwayat as-Sya’by yang mengutip dari riwayat Ibnu Abbas r.a yang  mengatakan bahwa bagian khuntsa itu ialah separoh dari dua bagian laki-laki dan perempuan, dikarenakan statusnya masih diperselisihkan oleh para ahli waris.[18] Fatwa Ibnu Abbas ini menurut Ibnu Qudamah tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya.
Tidak dapat ditarjihkan kepada salah satu jenis kelamin karena adanya kemungkinan yang sama untuk ditetapkan sebagai laki-laki atau perempuan, untuk itu harus dipersamakan ketentuan hukumnya bagi keduanya.
3. Jumlah ahli waris khuntsa musykil
Para faradhiyun menetapkan bahwa para ahli waris khuntsa musykil hanya berjumlah tujuh (7) orang yang tercakup dalam empat jihat sebagai berikut:[19]
a.   Jihat bunuwwah (jalur anak), yaitu anak dan cucu;
b.   Jihat ukhuwwah (jalur saudara), yaitu saudara dan anak saudara (keponakan);
c.   Jihat ’umumah (jalur paman), yaitu paman dan anak paman (saudara sepupu);
d.   Jihat wala’ (perwalian budak), yaitu tuan yang memerdekakan budaknya (maulal mu’tiq).
B. Praktek di masyarakat
Di masyarakat Indonesia  dikenal  dengan  istilah “banci”, “wadam” (wanita-adam) atau  “waria” (wanita-pria).  Istilah-istilah tersebut berbeda pengertian dengan khuntsa yang dimaksud dalam kitab-kitab fikih. Banci adalah tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan; 2 n laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan; wadam; waria.[20]
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery).[21]
Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya ketika datang stress; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.[22]
Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.[23]
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3) Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina).[24]
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.[25]
Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah sebagai berikut:[26] Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.



[1] QS. 4:1 dan QS.49:13
[2] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984), hal 382.
[3] Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van hoeve, 1996), hal. 934
[4] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4, hal. 482
[5] Ibid, hal. 140
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 140
[7] Ibid
[8] Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, terjemah dari Ahkam al-Mawarits fi al-Fiqh al-Islamiy, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hal. 393
[9] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, hal. 140
[10] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4, hal. 482-484
[11] al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240
[12] Ibid, hal. 486; Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, hal. 395
[13] Fatchur Rahman, Ilmu waris, hal. 487
[14] Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, hal. 353
[15] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 488
[16] Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al Mirats, hal. 352
[17] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 490
[18] Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyyah, hal. 196
[19] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 484
[20] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Ibid

Hukum Keluarga Islam di Negara Mesir, Sebuah Resume

            A.   Pendahuluan  
       Republik Arab Mesir, lebih dikenal sebagai Mesir adalah sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika bagian timur laut dan sebagian besar wilayah lainnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur.[1] 90% dari penduduk Mesir adalah penganut Islam, mayoritas Sunni dan sekitar 10% penduduk Mesir menganut agama Kristen. Pada awal sejarahnya, penduduk Mesir merupakan penganut mazhab Syafi’I, kemudian ketika masuk dalam kekaisaran Ottoman, Mesir menganut mazhab Hanafi.[2]
            Mesir merupakan negara Arab pertama yang melakukan reformasi dalam hukum keluarga.  Sejarah reformasi hukum di Mesir dimulai sejak tahun 1874, yaitu sejak mesir merdeka dari kekaisaran Ottoman. Adapun yang menjadi focus pertama adalah reformasi di bidang administrasi peradilan pada tahun 1875-1883 dengan dibentuknya Pengadilan Mukhtala (Campuran) dan Pengadilan Ahli (nasional).[3] Tak lama kemudian gerakan reformasi di berbagai bidang social-ekonomi diluncurkan di negara tersebut. Adapun para reformis terkenal adalah Mufti Agung Muhammad Abduh, Syekh Rasyid Ridha, dan Qasim Amin.[4]
            Para reformis menyadari bahwa prinsip-prinsip hukum keluarga yang terdapat pada mazhab tertentu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Mesir, untuk itu tahun 1915 dibentuklah sebuah panitia yang dipimpin oleh Rektor Universitas Al-Azhar, Syekh Al-Maraghi untuk mereformasi hukum keluarga di Mesir.[5]
            Tahun 1920, hukum keluarga pertama berlaku di Mesir.[6]  Antara tahun 1920 dan tahun 1952 telah terjadi perubahan penting dalam prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga dan hukum suksesi dengan lahirnya, yaitu : UU No. 25 tahun 1920 Tentang Nafkah dan Perceraian; UU No. 56 tahun 1923 Tentang Usia Perkawinan; UU No. 25 tahun 1929  Tentang Perceraian; UU No. 77 tahun 1943 Tentang Waris; UU No. 71 tahun 1946 Tentang Wasiat.[7]
Isi pokok UU No. 25 Tahun 1920 dan UU No. 25 Tahun 1929 terfokus pada bidang perceraian. Kedua UU ini kemudian diperbaharui tahun 1979, dengan lahirnya UU yang dikenal Hukum Jihan Sadat No. 44 Tahun 1979. Undang-undang ini kemudian diperbaharui lagi dalam bentuk Personal Status (Amandment) Law No. 100 Tahun 1985.[8]
B.     Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hukum perkawinan 
     1.   Usia Perkawinan
UU No. 56 tahun 1923 mengatur tentang batas usia minimal perkawinan seseorang, yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Perkawinan yang melanggar batas usia minimal ini tidak akan dicatat (tidak terdaftar) dan pengadilan tidak mengakui dalam hal memberian bantuan dalam hal apapun.[9] 
2. Mahar
Jika terjadi sengketa antara pasangan suami istri mengenai jumlah mahar, istri harus dapat membuktikan gugatannya tersebut. Apabila istri tidak dapat membuktikan, maka sumpah suami yang dijadikan dasar putusan, kecuali jika suami menyatakan jumlah yang tidak wajar senilai jumlah mahar mitsli status istrinya tersebut.[10] 
3.      Ketentuan tentang pemberian nafkah[11]
Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri sejak perkawinan disahkan meskipun istri tersebut kaya atau beda agama. Penyakit istri tidak menghalangi hak istri untuk mendapatkan nafkah. Nafkah mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan lainnya yang diakui oleh hukum. Suami tidak berkewajiban member nafkah jika istri murtad, atau menolak untuk hidup bersama tanpa alas an, atau pergi tanpa izin suaminya.
4.      Putusnya perkawinan
a.    Perceraian yang diucapkan oleh seorang suami yang mabuk, atau dibawah paksaan, atau perceraian bersyarat, tidak berlaku (tidak sah). Perceraian baru sah apabila suami benar-benar bermaksud untuk memutuskan perkawinan.[12]
b.   Talak tiga yang diucapkan sekaligus hanya berlaku talak satu. (pasal 3)
c.    Seorang suami yang menceraikan istrinya harus mendaftarkan perceraiannya tersebut dalam waktu tiga puluh (30) hari sejak talak dijatuhkan.[13]
d.   Seorang istri dapat mengajukan gugat cerai jika:
-       Suami tidak memberi nafkah, kecuali suami miskin.[14]
-       Suami hilang atau dalam penjara sehingga tidak dapat memberikan nafkah kepada istri.[15]
-          Suami menderita penyakit kronis yang merugikan istri.[16]
-          Suami berlaku kejam terhadap istri.[17] 
5.      Penyelesaian perselisihan
Jika seorang istri menuduh suaminya telah berbuat kejam dan tidak mungkin melanjutkan hubungan perkawinannya, istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada hakim. Dan hakim harus memutuskan perceraian keduanya jika tuduhan istri dapat dibuktikan dan tidak dapat didamaikan. Tetapi jika hakim menolak permohonan cerai istri, dan kemudian istri mengulangi tuduhannya tetapi tidak dapat membuktikan tuduhan tersebut, hakim akan menunjuk dua orang sebagai juru damai.[18] 
6.      Aturan Poligami
Usulan tentang pembatasan poligami dan hak cerai sepihak oleh suami selalu gagal di Mesir. Draf UU No. 25/1920 dan draf UU No. 25/1929 tentang pembatasan poligami tidak diterima. Baru pada tahun 1985, dengan UU (Amandment Law) No. 100 Tahun 1985, menetapkan aturan poligami[19]. Dalam amandemen ini ditentukan. Poligami dapat menjadi alas an perceraian bagi istri dengan alas an poligami mengakibatkan kesusahan ekonomi, baik dicantumkan dalam taklik talak maupun tidak. Disamping itu, pengadilan harus memberitahukan istri atau istri-istrinya tentang rencana poligami tersebut.[20]Bagi yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman penjara, atau denda, atau kedua-duanya.
7.      Ketentuan mafqud (orang hilang)
Pengadilan dapat memutuskan kematian seseorang  setelah empat tahun terhitung sejak hilangnya orang tersebut.[21] Setelah putusnya perkawinan berdasarkan hilangnya suami, istri menikah dengan orang lain, kemudian mantan suami kembali, maka perkawinan kedua istri tetap berlaku.[22] 
8.      Masa kehamilan
Undang-undang No. 25/1929 menetapkan bahwa usia maksimal kehamilan adalah satu tahun matahari (356 hari) sejak meninggalnya suami.[23] 
9.      Hak asuh anak (hadhanah)
Pengadilan berwenang memperpanjang waktu normal seorang ibu berhak atas hak asuh anak-anaknya. Pengadilan dapat memutuskan bahwa anak tetap dalam hak asuh ibunya sampai usia Sembilan (10) tahun bagi anak laki-laki, dan sebelas (12) tahun bagi anak perempuan.[24]
C.    Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kewarisan dan wasiat
Undang-undang No. 77 tahun 1943 tentang kewarisan sebagian besar diadopsi dari mazhab Hanafi, namun dalam beberapa kasus terdapat hukum yang berbeda dari mazhab hanafi. Berikut ketentuan hukum waris yang berlaku di mesir:
1.   Prioritas biaya pemakaman.
Biaya pemakaman merupakan prioritas yang harus dikeluarkan sebelum hutang. Ketentuan ini sesuai dengan pendapat Hanafi.
2.   Pembunuh pewaris sebagai penghalang mewarisi
Ketentuan hukum syari’ah, bahwa seorang ahli waris yang membunuh pewaris akan terhalang dari menerima warisan, sedangkan mengenai jenis membunuh sengaja atau tidak sengaja yang menghalangi menerima warisan terdapat perbedaan pendapat. Mazhab Hanafi menetapkan semua jenis membunuh dapat menghalangi ahli waris menerima warisan. Sedangkan Maliki menetapkan hanya membunuh yang sengaja yang dapat menghalangi mewarisi. Undang-undang (1943) Mesir mengadopsi pendapat Maliki tersebut. Pasal 5 menyebutkan bahwa “salah satu hambatan ahli waris menerima warisan adalah ahli waris yang sengaja telah menyebabkan kematian pewaris, baik oleh dirinya sendiri, atau membantu membunuh, atau sebagai saksi yang kesaksiannya tersebut pewaris dieksekusi, sedangkan ahli waris dalam keadaan waras dan telah berusia lima belas (15) tahun.
3.   Kasus Himariya
Saudara-saudari seibu dalam hukum warisan Islam ditempatkan sebagai ahli waris ashabul furud, sementara saudara-saudari sekandung (seayah seibu) apabila bersama ahli waris lain sebagai ahli waris penerima sisa. Dalam kasus-kasus tertentu dengan pola distribusi, saudara-saudari sekandung tidak menerima warisan sementara saudara-saudari seibu tidak terpengaruh sama sekali bagiannya karena bagian saudara-saudari ibu mendapatkan saham tetap dalam Al-Qur’an. Kasus ini dikenal dengan kasus Himariya.[25] UU No. 77/1943 pasal 10 menetapkan saudara-saudari sekandung bersama-sama mengambil bagian saudara-saudari seibu (1/3) sebagaimana pendapat Syafi’I dan Maliki.
4.   Hak kewarisan kakek
Dalam hukum waris Islam terdapat pendapat yang bertentangan dalam hal kakek mewarisi bersama-sama saudara sekandung/seayah. Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa kakek menghijab semua saudara, sementara Maliki dan Syafi’I menyamakan posisi kakek dengan saudara-saudara. Dalam UU No. 77/1943 pasal 6 berlaku bahwa bagian kakek tidak akan mempengaruhi bagian saudari yang posisinya sebagai ahli waris ashabul furudh. Tetapi apabila kakek bersama dengan saudara yang posisinya sebagai ashabah, maka kakek dianggap sebagai saudara.[26] Aturan ini merupakan kombinasi antara pendapat Ali ra dan pendapat Syafi’I dan Maliki.
5.   Ketentuan tentang Raad (pengembalian sisa lebih)
Jika tidak ada ahli waris ashabah, maka sisa harta beralih kepada suami/istri yang masih hidup sebanding dengan pecahan saham mereka[27]. Dengan demikian UU Mesir memungkinkan janda/duda mengambil seluruh harta ketika pewaris tidak meninggalkan ahli waris ashabah dan ahli waris nasab. Ketentuan ini bertentangan dengan pendapat Hanafi yang yang tidak memberikan rad kepada janda/duda.[28] 
6.   Wasiat wajibah bagi cucu yatim.
Prinsip utama dan penting yang diperkenalkan di Mesir berkenaan hukum warisan adalah hak cucu yatim terhadap harta kakeknya. Hal ini merupakan isu controversial yang terdapat dalam hukum Islam karena tidak mengenal pengakuan representasi (mewakili ahli waris/ahli waris pengganti). Solusi yang diberikan untuk mendukung posisi cucu yatim yaitu melalui wasiat wajibah. Beberapa ketentuan wasiat wajibah dalam Undang-Undang wasiat No. 71 tahun 1946, antara lain:
a.       Wasiat wajibah wajib diberikan kepada keturunan dari anak yang orang tuanya meninggal sebelum atau bersama-sama dengan pewaris/kakeknya (pasal 76)
b.      Besarnya bagian wasiat wajibah, adalah sebesar bagian yang harus diterima oleh anak pewaris dari harta peninggalan tersebut, apabila ia (anak pewaris) hidup pada saat pewaris meninggal, maksimal sepertiga (pasal 76)
c.       Wasiat wajibah diberikan dengan syarat keturunan dari anak pewaris itu (cucu) bukan termasuk ahli waris dan si pewaris tidak pernah memberikan sesuatu kepadanya sebesar apa yang menjadi bagian si anak tersebut. Apabila ada pemberian dan pemberian itu lebih kecil jumlahnya dari jumlah yang diwajibkan, maka wajib digenapkan sampai kepada jumlah yang diwajibkan (pasal 76)
d.      Wasiat wajibah diperuntukkan bagi cucu, yaitu keturunan dari anak perempuan pada tingkat/lapisan pertama, serta cucu keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. Bagian masing-masing anak yang digantikan dibagikan kepada keturunannya, seolah-olah anak yang digantikan itu meninggal setelah pewaris meninggal (pasal 76)
e.       Apabila pewaris memberikan wasiat melebihi jumlah yang seharusnya diberikan melalui wasiat wajibah, maka kelebihan itu merupakan wasiat ikhtiyariyah, namun apabila jumlah itu lebih kecil dari yang seharusnya, maka wajib digenapkan (pasal 77)
f.       Apabila ada wasiat bagi sebagian dan tidak kepada yang lainnya dari yang berhak menerima wasiat wajibah, maka kepada yang tidak diberi wasiat tersebut, wajib diberikan sesuai dengan bagiannya (pasal 77).
g.      Wasiat wajibah didahulukan dari wasiat lainnya (pasal 78).
7.      Ketentuan wasiat
a.       Validitas wasiat; wasiat yang ditujukan untuk maksiat atau yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariat adalah batal (tidak sah).[29]
b.      Wasiat untuk ahli waris; Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali bahwa wasiat bagi ahli waris adalah sah apabila disetujui oleh ahli waris yang lain. Pasal 37 UU 1946 menyebutkan bahwa wasiat untuk ahli waris adalah sah dan berlaku tanpa memperhatikan persetujuan dari yang lainnya. Ketentuan ini merupakan adopsi dari Ithna “ashari.[30]
c.       Wasiat untuk ahli waris atau untuk non ahli waris maksimal 1/3 harta warisan. Apabila lebih dari 1/3 harta akan berlaku dan dilaksanakan dengan persetujuan ahli waris lainnya dan diberikan setelah meninggalnya si pewasiat.
D.    Penutup
            Dengan demikian, Mesir merupakan negara kedua setelah Turki dan negara Arab pertama yang mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga. Isi pembaharuan hukum keluarga Mesir lebih radikal dan lebih luas daripada Hukum Keluarga Turki. Hukum keluarga Mesir yang berlaku sekarang tidak lagi hanya mengikuti hukum tradisional Hanafi dan Syafi’I, tetapi lebih komprehensif dengan mengadopsi mazhab-mazhab lainnya yang dianggap relevan selain mengambil bentuk hukum baru.

Daftar Pustaka
1.         Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987
2.       Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, The Indian Law Institute, New Delhi, 1972
3.       Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002)
4.      http://id.wikipedia.org/wiki/mesir, diakses pada tanggal 1 April 2011.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/mesir, diakses pada tanggal 1 April 2011.
[2] Tahir Mahmood, Family Law, hal. 48
[3] Tahir Mahmood, Personal Law, hal. 27
[4] Family Law, hal
[5] Ibid
[6] Personal law, hal 28
[7] Family law, hal 49; Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, hal. 94.
[8] Khoiruddin, Status Wanita, hal 94, dikutip dari Kiran Gupta, Poligamy-Law Reform Modern Muslim State, hal. 129-130.
[9] Ibid, hal. 50
[10] Pasal 19 UU No. 25/1929
[11] UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun 1985.  Personal law, hal. 32.
[12] UU No. 25 tahun 1929 pasal 4
[13] Pasal 5
[14] UU No. 25/1920 pasal 4
[15] UU No. 25/1920 pasal 5
[16] Pasal 9
[17] UU No. 25/1929 pasal 6
[18] Ibid
[19] Khoiruddin Nasution, Status wanita, hal. 119
[20] Dalam pasal 11A disebutkan, “seorang yang akan menikah harus menjelaskan status perkawinannya pada formulir pencatatan perkawinan. Bagi yang sudah mempunyai istri harus mencantumkan nama dan alamat istri atau istri-istrinya. Pegawai pencatat harus memberitahukan istrinya tentan rencana perkawinan tersebut. Seorang istri yang suaminya menikah lagi dengan wanita lain dapat minta cerai atas dasar kemudaratan ekonomi yang diakibatkan oleh poligami, dan mengakibatkan tidak mungkin hidup bersama suaminya dengan baik. Hak cerai ini dapat berlaku, baik ditetapkan ataupun tidak dalam taklik talak. Jika hakim tidak berhasil mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak istri minta cerai hilang dengan sendirinya kalau ia tidak memintanya selama masa satu tahun dari dia mengetahui perkawinan dimaksud. Tetapi hak ini tetap menjadi hak istri setiap kali suaminya menikah lagi. Seorang istri yang dinikahi dan tidak mengetahui kalau suaminya telah memiliki istri, berhak minta cerai segera setelah mengetahuinya. Tahir mahmood, Personal Law, hal. 39-40;
[21] UU No. 25/1920 pasal 21-22. Family law, hal. 52.
[22] UU No. 25/1920 pasal 8
[23] Family law, hal, 52
[24] UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun 1985, pasal 20
[25] Family law, hal. 54
[26] Family law, hal. 55
[27] UU No. 77/1943 pasal 30
[28] Family law, hal. 55
[29] Pasal 3 UU No. 71/1946
[30] Family law, hal. 57