Kamis, 08 Maret 2012

Hukum Keluarga Islam di Negara Mesir, Sebuah Resume

            A.   Pendahuluan  
       Republik Arab Mesir, lebih dikenal sebagai Mesir adalah sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika bagian timur laut dan sebagian besar wilayah lainnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur.[1] 90% dari penduduk Mesir adalah penganut Islam, mayoritas Sunni dan sekitar 10% penduduk Mesir menganut agama Kristen. Pada awal sejarahnya, penduduk Mesir merupakan penganut mazhab Syafi’I, kemudian ketika masuk dalam kekaisaran Ottoman, Mesir menganut mazhab Hanafi.[2]
            Mesir merupakan negara Arab pertama yang melakukan reformasi dalam hukum keluarga.  Sejarah reformasi hukum di Mesir dimulai sejak tahun 1874, yaitu sejak mesir merdeka dari kekaisaran Ottoman. Adapun yang menjadi focus pertama adalah reformasi di bidang administrasi peradilan pada tahun 1875-1883 dengan dibentuknya Pengadilan Mukhtala (Campuran) dan Pengadilan Ahli (nasional).[3] Tak lama kemudian gerakan reformasi di berbagai bidang social-ekonomi diluncurkan di negara tersebut. Adapun para reformis terkenal adalah Mufti Agung Muhammad Abduh, Syekh Rasyid Ridha, dan Qasim Amin.[4]
            Para reformis menyadari bahwa prinsip-prinsip hukum keluarga yang terdapat pada mazhab tertentu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Mesir, untuk itu tahun 1915 dibentuklah sebuah panitia yang dipimpin oleh Rektor Universitas Al-Azhar, Syekh Al-Maraghi untuk mereformasi hukum keluarga di Mesir.[5]
            Tahun 1920, hukum keluarga pertama berlaku di Mesir.[6]  Antara tahun 1920 dan tahun 1952 telah terjadi perubahan penting dalam prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga dan hukum suksesi dengan lahirnya, yaitu : UU No. 25 tahun 1920 Tentang Nafkah dan Perceraian; UU No. 56 tahun 1923 Tentang Usia Perkawinan; UU No. 25 tahun 1929  Tentang Perceraian; UU No. 77 tahun 1943 Tentang Waris; UU No. 71 tahun 1946 Tentang Wasiat.[7]
Isi pokok UU No. 25 Tahun 1920 dan UU No. 25 Tahun 1929 terfokus pada bidang perceraian. Kedua UU ini kemudian diperbaharui tahun 1979, dengan lahirnya UU yang dikenal Hukum Jihan Sadat No. 44 Tahun 1979. Undang-undang ini kemudian diperbaharui lagi dalam bentuk Personal Status (Amandment) Law No. 100 Tahun 1985.[8]
B.     Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hukum perkawinan 
     1.   Usia Perkawinan
UU No. 56 tahun 1923 mengatur tentang batas usia minimal perkawinan seseorang, yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Perkawinan yang melanggar batas usia minimal ini tidak akan dicatat (tidak terdaftar) dan pengadilan tidak mengakui dalam hal memberian bantuan dalam hal apapun.[9] 
2. Mahar
Jika terjadi sengketa antara pasangan suami istri mengenai jumlah mahar, istri harus dapat membuktikan gugatannya tersebut. Apabila istri tidak dapat membuktikan, maka sumpah suami yang dijadikan dasar putusan, kecuali jika suami menyatakan jumlah yang tidak wajar senilai jumlah mahar mitsli status istrinya tersebut.[10] 
3.      Ketentuan tentang pemberian nafkah[11]
Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri sejak perkawinan disahkan meskipun istri tersebut kaya atau beda agama. Penyakit istri tidak menghalangi hak istri untuk mendapatkan nafkah. Nafkah mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan lainnya yang diakui oleh hukum. Suami tidak berkewajiban member nafkah jika istri murtad, atau menolak untuk hidup bersama tanpa alas an, atau pergi tanpa izin suaminya.
4.      Putusnya perkawinan
a.    Perceraian yang diucapkan oleh seorang suami yang mabuk, atau dibawah paksaan, atau perceraian bersyarat, tidak berlaku (tidak sah). Perceraian baru sah apabila suami benar-benar bermaksud untuk memutuskan perkawinan.[12]
b.   Talak tiga yang diucapkan sekaligus hanya berlaku talak satu. (pasal 3)
c.    Seorang suami yang menceraikan istrinya harus mendaftarkan perceraiannya tersebut dalam waktu tiga puluh (30) hari sejak talak dijatuhkan.[13]
d.   Seorang istri dapat mengajukan gugat cerai jika:
-       Suami tidak memberi nafkah, kecuali suami miskin.[14]
-       Suami hilang atau dalam penjara sehingga tidak dapat memberikan nafkah kepada istri.[15]
-          Suami menderita penyakit kronis yang merugikan istri.[16]
-          Suami berlaku kejam terhadap istri.[17] 
5.      Penyelesaian perselisihan
Jika seorang istri menuduh suaminya telah berbuat kejam dan tidak mungkin melanjutkan hubungan perkawinannya, istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada hakim. Dan hakim harus memutuskan perceraian keduanya jika tuduhan istri dapat dibuktikan dan tidak dapat didamaikan. Tetapi jika hakim menolak permohonan cerai istri, dan kemudian istri mengulangi tuduhannya tetapi tidak dapat membuktikan tuduhan tersebut, hakim akan menunjuk dua orang sebagai juru damai.[18] 
6.      Aturan Poligami
Usulan tentang pembatasan poligami dan hak cerai sepihak oleh suami selalu gagal di Mesir. Draf UU No. 25/1920 dan draf UU No. 25/1929 tentang pembatasan poligami tidak diterima. Baru pada tahun 1985, dengan UU (Amandment Law) No. 100 Tahun 1985, menetapkan aturan poligami[19]. Dalam amandemen ini ditentukan. Poligami dapat menjadi alas an perceraian bagi istri dengan alas an poligami mengakibatkan kesusahan ekonomi, baik dicantumkan dalam taklik talak maupun tidak. Disamping itu, pengadilan harus memberitahukan istri atau istri-istrinya tentang rencana poligami tersebut.[20]Bagi yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman penjara, atau denda, atau kedua-duanya.
7.      Ketentuan mafqud (orang hilang)
Pengadilan dapat memutuskan kematian seseorang  setelah empat tahun terhitung sejak hilangnya orang tersebut.[21] Setelah putusnya perkawinan berdasarkan hilangnya suami, istri menikah dengan orang lain, kemudian mantan suami kembali, maka perkawinan kedua istri tetap berlaku.[22] 
8.      Masa kehamilan
Undang-undang No. 25/1929 menetapkan bahwa usia maksimal kehamilan adalah satu tahun matahari (356 hari) sejak meninggalnya suami.[23] 
9.      Hak asuh anak (hadhanah)
Pengadilan berwenang memperpanjang waktu normal seorang ibu berhak atas hak asuh anak-anaknya. Pengadilan dapat memutuskan bahwa anak tetap dalam hak asuh ibunya sampai usia Sembilan (10) tahun bagi anak laki-laki, dan sebelas (12) tahun bagi anak perempuan.[24]
C.    Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kewarisan dan wasiat
Undang-undang No. 77 tahun 1943 tentang kewarisan sebagian besar diadopsi dari mazhab Hanafi, namun dalam beberapa kasus terdapat hukum yang berbeda dari mazhab hanafi. Berikut ketentuan hukum waris yang berlaku di mesir:
1.   Prioritas biaya pemakaman.
Biaya pemakaman merupakan prioritas yang harus dikeluarkan sebelum hutang. Ketentuan ini sesuai dengan pendapat Hanafi.
2.   Pembunuh pewaris sebagai penghalang mewarisi
Ketentuan hukum syari’ah, bahwa seorang ahli waris yang membunuh pewaris akan terhalang dari menerima warisan, sedangkan mengenai jenis membunuh sengaja atau tidak sengaja yang menghalangi menerima warisan terdapat perbedaan pendapat. Mazhab Hanafi menetapkan semua jenis membunuh dapat menghalangi ahli waris menerima warisan. Sedangkan Maliki menetapkan hanya membunuh yang sengaja yang dapat menghalangi mewarisi. Undang-undang (1943) Mesir mengadopsi pendapat Maliki tersebut. Pasal 5 menyebutkan bahwa “salah satu hambatan ahli waris menerima warisan adalah ahli waris yang sengaja telah menyebabkan kematian pewaris, baik oleh dirinya sendiri, atau membantu membunuh, atau sebagai saksi yang kesaksiannya tersebut pewaris dieksekusi, sedangkan ahli waris dalam keadaan waras dan telah berusia lima belas (15) tahun.
3.   Kasus Himariya
Saudara-saudari seibu dalam hukum warisan Islam ditempatkan sebagai ahli waris ashabul furud, sementara saudara-saudari sekandung (seayah seibu) apabila bersama ahli waris lain sebagai ahli waris penerima sisa. Dalam kasus-kasus tertentu dengan pola distribusi, saudara-saudari sekandung tidak menerima warisan sementara saudara-saudari seibu tidak terpengaruh sama sekali bagiannya karena bagian saudara-saudari ibu mendapatkan saham tetap dalam Al-Qur’an. Kasus ini dikenal dengan kasus Himariya.[25] UU No. 77/1943 pasal 10 menetapkan saudara-saudari sekandung bersama-sama mengambil bagian saudara-saudari seibu (1/3) sebagaimana pendapat Syafi’I dan Maliki.
4.   Hak kewarisan kakek
Dalam hukum waris Islam terdapat pendapat yang bertentangan dalam hal kakek mewarisi bersama-sama saudara sekandung/seayah. Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa kakek menghijab semua saudara, sementara Maliki dan Syafi’I menyamakan posisi kakek dengan saudara-saudara. Dalam UU No. 77/1943 pasal 6 berlaku bahwa bagian kakek tidak akan mempengaruhi bagian saudari yang posisinya sebagai ahli waris ashabul furudh. Tetapi apabila kakek bersama dengan saudara yang posisinya sebagai ashabah, maka kakek dianggap sebagai saudara.[26] Aturan ini merupakan kombinasi antara pendapat Ali ra dan pendapat Syafi’I dan Maliki.
5.   Ketentuan tentang Raad (pengembalian sisa lebih)
Jika tidak ada ahli waris ashabah, maka sisa harta beralih kepada suami/istri yang masih hidup sebanding dengan pecahan saham mereka[27]. Dengan demikian UU Mesir memungkinkan janda/duda mengambil seluruh harta ketika pewaris tidak meninggalkan ahli waris ashabah dan ahli waris nasab. Ketentuan ini bertentangan dengan pendapat Hanafi yang yang tidak memberikan rad kepada janda/duda.[28] 
6.   Wasiat wajibah bagi cucu yatim.
Prinsip utama dan penting yang diperkenalkan di Mesir berkenaan hukum warisan adalah hak cucu yatim terhadap harta kakeknya. Hal ini merupakan isu controversial yang terdapat dalam hukum Islam karena tidak mengenal pengakuan representasi (mewakili ahli waris/ahli waris pengganti). Solusi yang diberikan untuk mendukung posisi cucu yatim yaitu melalui wasiat wajibah. Beberapa ketentuan wasiat wajibah dalam Undang-Undang wasiat No. 71 tahun 1946, antara lain:
a.       Wasiat wajibah wajib diberikan kepada keturunan dari anak yang orang tuanya meninggal sebelum atau bersama-sama dengan pewaris/kakeknya (pasal 76)
b.      Besarnya bagian wasiat wajibah, adalah sebesar bagian yang harus diterima oleh anak pewaris dari harta peninggalan tersebut, apabila ia (anak pewaris) hidup pada saat pewaris meninggal, maksimal sepertiga (pasal 76)
c.       Wasiat wajibah diberikan dengan syarat keturunan dari anak pewaris itu (cucu) bukan termasuk ahli waris dan si pewaris tidak pernah memberikan sesuatu kepadanya sebesar apa yang menjadi bagian si anak tersebut. Apabila ada pemberian dan pemberian itu lebih kecil jumlahnya dari jumlah yang diwajibkan, maka wajib digenapkan sampai kepada jumlah yang diwajibkan (pasal 76)
d.      Wasiat wajibah diperuntukkan bagi cucu, yaitu keturunan dari anak perempuan pada tingkat/lapisan pertama, serta cucu keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. Bagian masing-masing anak yang digantikan dibagikan kepada keturunannya, seolah-olah anak yang digantikan itu meninggal setelah pewaris meninggal (pasal 76)
e.       Apabila pewaris memberikan wasiat melebihi jumlah yang seharusnya diberikan melalui wasiat wajibah, maka kelebihan itu merupakan wasiat ikhtiyariyah, namun apabila jumlah itu lebih kecil dari yang seharusnya, maka wajib digenapkan (pasal 77)
f.       Apabila ada wasiat bagi sebagian dan tidak kepada yang lainnya dari yang berhak menerima wasiat wajibah, maka kepada yang tidak diberi wasiat tersebut, wajib diberikan sesuai dengan bagiannya (pasal 77).
g.      Wasiat wajibah didahulukan dari wasiat lainnya (pasal 78).
7.      Ketentuan wasiat
a.       Validitas wasiat; wasiat yang ditujukan untuk maksiat atau yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariat adalah batal (tidak sah).[29]
b.      Wasiat untuk ahli waris; Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali bahwa wasiat bagi ahli waris adalah sah apabila disetujui oleh ahli waris yang lain. Pasal 37 UU 1946 menyebutkan bahwa wasiat untuk ahli waris adalah sah dan berlaku tanpa memperhatikan persetujuan dari yang lainnya. Ketentuan ini merupakan adopsi dari Ithna “ashari.[30]
c.       Wasiat untuk ahli waris atau untuk non ahli waris maksimal 1/3 harta warisan. Apabila lebih dari 1/3 harta akan berlaku dan dilaksanakan dengan persetujuan ahli waris lainnya dan diberikan setelah meninggalnya si pewasiat.
D.    Penutup
            Dengan demikian, Mesir merupakan negara kedua setelah Turki dan negara Arab pertama yang mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga. Isi pembaharuan hukum keluarga Mesir lebih radikal dan lebih luas daripada Hukum Keluarga Turki. Hukum keluarga Mesir yang berlaku sekarang tidak lagi hanya mengikuti hukum tradisional Hanafi dan Syafi’I, tetapi lebih komprehensif dengan mengadopsi mazhab-mazhab lainnya yang dianggap relevan selain mengambil bentuk hukum baru.

Daftar Pustaka
1.         Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987
2.       Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, The Indian Law Institute, New Delhi, 1972
3.       Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002)
4.      http://id.wikipedia.org/wiki/mesir, diakses pada tanggal 1 April 2011.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/mesir, diakses pada tanggal 1 April 2011.
[2] Tahir Mahmood, Family Law, hal. 48
[3] Tahir Mahmood, Personal Law, hal. 27
[4] Family Law, hal
[5] Ibid
[6] Personal law, hal 28
[7] Family law, hal 49; Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, hal. 94.
[8] Khoiruddin, Status Wanita, hal 94, dikutip dari Kiran Gupta, Poligamy-Law Reform Modern Muslim State, hal. 129-130.
[9] Ibid, hal. 50
[10] Pasal 19 UU No. 25/1929
[11] UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun 1985.  Personal law, hal. 32.
[12] UU No. 25 tahun 1929 pasal 4
[13] Pasal 5
[14] UU No. 25/1920 pasal 4
[15] UU No. 25/1920 pasal 5
[16] Pasal 9
[17] UU No. 25/1929 pasal 6
[18] Ibid
[19] Khoiruddin Nasution, Status wanita, hal. 119
[20] Dalam pasal 11A disebutkan, “seorang yang akan menikah harus menjelaskan status perkawinannya pada formulir pencatatan perkawinan. Bagi yang sudah mempunyai istri harus mencantumkan nama dan alamat istri atau istri-istrinya. Pegawai pencatat harus memberitahukan istrinya tentan rencana perkawinan tersebut. Seorang istri yang suaminya menikah lagi dengan wanita lain dapat minta cerai atas dasar kemudaratan ekonomi yang diakibatkan oleh poligami, dan mengakibatkan tidak mungkin hidup bersama suaminya dengan baik. Hak cerai ini dapat berlaku, baik ditetapkan ataupun tidak dalam taklik talak. Jika hakim tidak berhasil mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak istri minta cerai hilang dengan sendirinya kalau ia tidak memintanya selama masa satu tahun dari dia mengetahui perkawinan dimaksud. Tetapi hak ini tetap menjadi hak istri setiap kali suaminya menikah lagi. Seorang istri yang dinikahi dan tidak mengetahui kalau suaminya telah memiliki istri, berhak minta cerai segera setelah mengetahuinya. Tahir mahmood, Personal Law, hal. 39-40;
[21] UU No. 25/1920 pasal 21-22. Family law, hal. 52.
[22] UU No. 25/1920 pasal 8
[23] Family law, hal, 52
[24] UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun 1985, pasal 20
[25] Family law, hal. 54
[26] Family law, hal. 55
[27] UU No. 77/1943 pasal 30
[28] Family law, hal. 55
[29] Pasal 3 UU No. 71/1946
[30] Family law, hal. 57

1 komentar: